Jakarta/transparansiindonesia.com – Pengamat Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa Hak Guna Bangunan (HGB) yang telah diterbitkan tidak dapat dibatalkan hanya karena permintaan pihak lain. Kecuali jika ada kesalahan administrasi dalam penerbitanya. ZHal tersebut diutarakan Yusril terkait dengan permintaan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang atau Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk membatalkan penerbitan dan menunda HGB Pulau Reklamasi, yaitu tiga pulau hasil reklamasi, Pulau C, Pulau D, dan Pulau G, yang berada di perairan Teluk Jakarta.
“Pembatalan hanya dapat dilakukan jika ada kesalahan administrasi dalam penerbitan. Itupun tidak mudah dilakukan, karena kesalahan administratif bukanlah kesalahan pemohon hak, tetapi kesalahan BPN sendiri,” ujar Yusril, Kamis (11/1/2018).
Terkait penerbitan HGB di pulau hasil reklamasi,Yusril menjelaskan bahwa hal tersebut dilakukan sesuai perjanjian antara Pemda DKI dengan pengembang kala itu dan yang punya hajat untuk melalukan reklamasi adalah Pemda DKI dan bukan pihak swasta.
“Pulau reklamasi semulanya tidak ada. Keberadaannya bukan secara alamiah, melainkan direncanakan dan dibuat. Karena itu, lahan hasil reklamasi dalam jumlah yang besar itu pastilah dikuasai oleh negara,” urai Yusril.
Yusril juga menjelaskan, terkait lahan reklamasi, Pemda DKI akan memiliki Hak Pengelolaan Lahan (HPL) dan pengembang dalam kurun waktu tertentu. Maka menurutnya, BPN mustahil akan menerbitkan HGB tanpa persetujuan dan rekomendasi dari pemegang HPL yakni Pemda DKI.
“Pemda DKI tidak bisa berdalih bahwa HGB yang diterbitkan menyalahi aturan. Pasalnya hal tersebut belum tertuang di dalam Perda Tata Ruang dan Perda Zonasi,” imbuhnya.
Yusril menambahkan sebelum ada Perda tata ruang dan zonasi, telah cukup menjadi dasar diterbitkannya bukan saja HGB, tetapi juga HPL atas nama Pemda DKI. Aturan itu antara lain Perda No 8 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta dan Pergub DKI No 121/2012 tentang Penataan Ruang Kawasan Reklamasi Pantura Jakarta.
“Maka satu-satunya jalan yang tersedia bagi Pemda DKI ialah mengajukan gugatan pembatalan HGB itu ke PTUN,” pungkas Yusril. (red/TI)*