Medan/transparansiindonesia.com – Memperjuangkan keadilan tidak mudah dan cepat prosesnya di negri tercinta yang bernama Indonesia .ini. Ny Netty Boru samosir (82) tahun berjuang mencari keadilan untuk mendapatkan kembali tanah miliknya yang dirampas oleh keponakannya MANOGAR DARWIS SITORUS dan para mafia tanah di Medan Sumatra Utara.
Berbagai upaya telah dilakukan seperti melaporkan ke Poltabes Medan bukti lapor No:LP/2035/VIII/2009/Tabes, MS; kemudian menggunakan jasa pengacara yang malangnya dapat pengacara yang tidak mempunyai nurani tega menipu lansia. Melaporkan ke Kompolnas, melaporkan ke Tim mafia hukum di Sekretariat Negara pada era Susilo Bambang Yudhoyono hasilnya masih nihil. Namun ada satu hal yang harus disampaikan pada masyarakat agar memperjuangkan sesuatu harus bertekun dalam doa berhasil atau tidak itu kuasa Tuhan. Ada saatnya akan diberikan yang terbaik.
Nilai nilai spiritualnya adalah Maju terus, jangan berhenti karena tantangan (Nehemia 4:6). “Tetapi kami terus membangun tembok sampai setengah tinggi dan sampai ujung-ujungnya bertemu, karena seluruh bangsa bekerja dengan segenap hati. Ketika didengar musuh kami, bahwa rencana mereka sudah kami ketahui dan bahwa Allah telah menggagalkannya, maka dapatlah kami semua kembali ke tembok, masing-masing ke pekerjaannya”.
Mengetahui Putusan Hakim PN Medan sebelum digelar
Ketika Ny. Netty Boru Samosir membaca alkitab tepatnya 4 hari sebelum kasusnya diputuskan oleh Pengadilan Tinggi Medan, Ny. Netty Br. Samosir sudah tahu hasilnya akan dikalahkan gugatannya karena gugatannya tidak lengkap pengacara tidak cermat, dari mana penglihatan itu datang yakni dari YESAYA 10 ayat 1 sampai dengan 4, berkali kali dibuka alkitab selalu ayat itu yang muncul sungguh luar biasa bukan.
Lalu Ny. Netty Br. Samosir mengajak anaknya pulang pada hari Rabu pagi ke Jakarta, sudah 3 kali hari Rabu persidangan selalu ditunda, dengan alasan hakim Ibu MM sakit, Hakim Ibu MM ada tugas di Jakarta, Pengadilan sibuk mengadili para mahasiswa yang demo anarkis, begitu dipastikan tiket sudah dibeli dan berangkat kembali barulah persidangan digelar bukan main strateginya, hanya orang
dungu dan tidak berhikmat yang tidak tahu skenario ini.
Apa yang tertulis pada penglihatan Yesaya 10:1-4
YESAYA 10 AYAT 1-4 murka Tuhan terhadap efraim
Celakalah mereka yang menentukan ketetapan-ketetapan yang tidak adil, dan mereka yang mengeluarkan keputusan-keputusan kelaliman,
untuk menghalang-halangi orang-orang lemah mendapat keadilan dan untuk merebut hak orang-orang sengsara di antara umat-Ku, supaya mereka dapat merampas milik janda-janda, dan dapat menjarah anak-anak yatim!
BANYAK ORANG MENINDAS ORANG KECIL LEMAH
Apakah yang akan kamu lakukan pada hari penghukuman, dan pada waktu kebinasaan yang datang dari jauh? Kepada siapakah kamu hendak lari minta tolong, dan di manakah hendak kamu tinggalkan kekayaanmu?
Tak dapat kamu lakukan apa-apa selain dari meringkuk di antara orang-orang yang terkurung, dan tewas di antara orang-orang yang terbunuh! Sekalipun semuanya ini terjadi, murka TUHAN belum surut, dan tangan-Nya masih teracung.
Siapa yang membuat ketetapan-ketetapan yang dimaksud dalam ayat diatas tentulah Hakim. Namun penghakiman adalah milik TUHAN kita tidak tahu kapan hukuman itu datang pada setiap orang, untuk hukum dunia banyak orang orang berbuat jahat selalu saja luput dari hukuman.
Kesaksian ini diceritakan kembali Ny. Netty Br. Samosir pada Notaris Drs Yusuf Ajeng Suganda SH. MKn. yang berpraktek di kota Bandung. Notaris Drs Yusuf Ajeng Suganda SH. MKn. diminta keterangannya menyangkut pembuatan surat hibah yang diduga dipalsukan oleh Manogar Darwis Sitorus yang dilegalisir Notaris Uci Sanusi SH dapat pengacarabermaterai cukup nomor :05/leg/IX/2005 tgl 3 oktober 2005 dari Netti ke Darwis Manogar Sitorus. Notaris Uci Sanusi SH. meninggal pada 24 April 2007 di Bandung karena stroke pada usia 47 tahun merujuk pada surat kematian No.18/KMT/IV/2007 Lurah Antapani Kidul Kecamatan Antapani Kota Bandung. Menanggapi kasus penipuan dan pemalsuan dokumen surat hibah yang dialami ny. Netty Br. Samosir, Notaris Atjeng Suganda menambahkan ” Setelah kami periksa dengan seksama akta hibah atas nama ny. Netty Br. Samosir tidak terdaftar, ini artinya tidak terdaftar dalam lembaga negara yang sah jadi tidak mempunyai kekuatan hukum”ujarnya.
Dari hasil diskusi kami mengapa BPN Sumut dan Notaris di Medan tidak Cross cek dulu keaslian dokumen ini mereka terlalu berani mengesahkan hingga mengambil hak milik orang lain, mengapa manajemen BPN menjadi seburuk ini..? ujarnya. Dokumen cacat hukum dan abal abal bisa merampas hak milik orang lain memang sangat mengerikan birokrasi dan surat menyurat dipemerintahan kita saat ini sehingga menjadi lahan empuk para pecundang.
Banyaknya manusia yang tersandung masalah hukum disebabkan kurangnya pengendalian diri, ingin cepat kaya dengan menghalalkan segala cara ujarnya.
Selanjutnya pria yang mempunyai kepribadian tenang, low profile dan religius ini menambahkan sebelum ajal memanggil, kita harus membersihkan diri terlebih dahulu janganlah kesalahan yang kita perbuat dalam hidup kita dibawa sampai mati pungkasnya.
Notaris Yusuf Atjeng Suganda menerima Protokol Notaris tetanggal 06-04-2011 dari Notaris Uci Sanusi SH. Notaris Uci Sanusi SH. telah berkali kali dipanggil Unit Reskrim Poltabes Medan terkait pembuatan akta yang diduga palsu dibuat di Bekasi 03 Oktober 2005 yang dilegalisir Notaris Uci Sanusi SH. Atas tanah milik ny. Netty Br. Samosir, seluas 2022M2 di sei kambing B Sumatra Utara.
Kasus ini cukup sulit karena dilakukan oleh mafia tanah yang cukup berpengalaman di dunia hitam dilakukan lintas propinsi, Legalisir Notarisnya di Bandung, pembuatanKTP yang diduga Palsu dibuat di Bekasi alamat Pelaku, sedangkan lokasi tanah di sei kambing B Sumatra Utara. Sudah 2(dua) pengacara lokal di Medan menangani kasus ini akan tetapi tidak berhasil dan mengecewakan Ny. Netty Br. Samosir. Kasus ini dilaporkan ke Poltabes Medan dengan bukti lapor No:LP/2035/VIII/2009/Tabes, MS namun hingga saat ini pelaku tidak pernah memenuhi surat panggilan polisi dan masih bebas berkeliaran mencari mangsa yang baru. (red/TI)*