UU Penerimaan Negara Bukan Pajak, Ini Pokok-Pokok Aturan Barunya

Nasional25 Dilihat

Jakarta, transparansiindonesia.co.id – Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) merupakan salah satu instrumen pendapatan negara selain pajak dan cukai. Berbagai contoh bentuk PNBP yaitu berupa dividen Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan biaya-biaya administrasi yang dikenakan kepada publik dalam kepengurusan di berbagai sektor seperti pendidikan, kesehatan, sumber daya alam dan pemerintahan.

 

Sayangnya, pengelolaan PNBP sebagai pendapatan negara selama ini dianggap masih belum maksimal. Padahal, Sehingga, pemerintah merevisi aturan baru PNBP lama UU Nomor 20 Tahun 1997 menjadi UU Nomor 9 tahun 2018 yang disahkan pada Juli lalu.

 

Meskipun sudah sekitar lima bulan terbit, pemahaman publik terhadap substansi UU PNBP terbaru dianggap masih belum tersosialisasikan dengan baik. Padahal, terdapat berbagai perubahan signifikan dalam aturan baru PNBP ini yang harus diimplementasikan kepada publik.

 

Oleh sebab itu, Wakil Menteri Keuangan, Mardiasmo menganggap perlu peningkatan sosialisai kepada publik sebagai wajib bayar PNBP mengenai ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU PNBP terbaru.

 

“Meski UU ini sudah agak lama disahkan pada Juli, namun publik masih belum tahu esensinya apa. Kalau PNBP kuat makan negara punya fiscal space yang cukup kuat juga,” kata Mardiasmo dalam acara sosialisasi UU PNBP di Kementerian Keuangan, Rabu (21/11).

 

Mengenai isi peraturannya, Mardiasmo menjelaskan aturan baru ini terdapat lima pokok ketentuan yaitu pengelompokkan objek, pengaturan tarif, tata kelola, pengawasan dan hak wajib pajak. Pokok-pokok ini merupakan ketentuan baru yang sebelumnya tidak termuat dalam aturan lama.

 

Pertama, sehubungan dengan pengelompokkan objek PNBP, aturan baru ini membagi menjadi enam klaster yaitu pemanfaatan sumber daya alam (SDA), pelayanan, pengelolaan kekayaan negara dipisahkan, pengelolaan barang milik negara, pengelolaan dana dan hak negara lainnya. Dengan penentuan klaster ini diharapkan semakin memberi kejelasan mengenai objek-objek dari PNBP.

 

UU Penerimaan Negara Bukan Pajak

Pasal 4:

(1) objek PNBP sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 meliputi:

a. Pemanfaatan Sumber Daya Alam;

b. Pelayanan;

c. Pengelolaan Kekayaan Negara Dipisahkan;

d. Pengelolaan Barang Milik Negara;

e. Pengelolaan Dana; dan

f. Hak Negara Lainnya.

 

Pokok kedua mengenai pengaturan tarif PNBP, Mardiasmo menjelaskan pemerintah mematok pengenaan tarif kepada publik mulai dari 0 persen. Pengenaan tarif 0 persen tersebut dengan mempertimbangkan berbagai aspek seperti dampaknya pengenaan tarif terhadap masyarakat, dunia usaha, pelestarian alam dan lingkungan, sosial budaya, serta aspek keadilan.

 

Kebijakan tersebut antara lain ditujukan untuk masyarakat tidak mampu, pelajar atau mahasiswa, penyelenggaraan kegiatan sosial, usaha mikro, kecil, dan menengah, kegiatan keagamaan, kegiatan kenegaraan, dan keadaan di luar kemampuan wajib bayar atau kondisi kahar.

 

Kemudian, pokok ketiga ketentuan mengenai tata kelola PNBP antara lain pengaturan kewajiban instansi pengelola PNBP untuk melakukan verifikasi dan pengelolaan piutang. Selain itu, tata kelola juga dilakukan dengan pemanfaatan teknologi dalam rangka pengelolaan PNBP untuk peningkatan layanan dan efisiensi. “Sehingga tidak perlu antre panjang dalam membayar karena IT based dan formulirnya juga lebih disederhanakan,” jelas Mardiasmo.

 

Pokok keempat, ketentuan pengawasan PNBP juga melibatkan aparat pengawas intern pemerintah, sehingga dapat meminimalkan pelanggaran atas keterlambatan atau tidak disetornya PNBP ke kas negara oleh wajib bayar, instansi pengelola PNBP, dan mitra instansi pengelola serta penggunaan langsung di luar mekanisme APBN oleh Instansi Pengelola PNBP.

 

Pokok kelima, hak wajib bayar, Mardiasmo menjelaskan dalam aturan ini pemerintah dapat memberi keringanan kepada masyarakat berupa penundaan, pengangsuran, pengurangan hingga pembebasan pembayaran PNBP. Ketentuan ini ditetapkan dengan memperhatikan kondisi di luar kemampuan Wajib Bayar atau kondisi kahar, kesulitan likuiditas, dan kebijakan Pemerintah.

 

“Jadi misalnya, dalam kondisi bencana alam maka wajib bayar bisa mengajukan penundaan kewajiban, cicil atau bebas” jelas Mardiasmo.

 

Selain itu, UU PNBP terbaru ini juga memuat sanksi pidana dan denda bagi wajib bayar yang menolak membayar dengan sengaja atau memalsukan dokumen untuk menghindari kewajibannya. Wajib bayar tersebut dapat dikenakan sanksi pidana 1-6 tahun dan denda hingga Rp 1 miliar.

 

UU Penerimaan Negara Bukan Pajak

Pasal 67:

Wajib Bayar yang menghitung sendiri kewajiban PNBP sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 huruf c yang dengan sengaja tidak membayar atau menyampaikan laporan PNBP Terutang yang tidak benar, dipidana dengan pidana denda sebanyak 4 (empat) kali jumlah PNBP Terutang dan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun.

Pasal 68:

Setiap orang yang dengan sengaja tidak memberikan dokumen, keterangan, dan/atau bukti lain yang dimiliki sebagaimana dimaksud dalam pasal 54 ayat (2), memberikan dokumen, keterangan, dan/atau bukti lain yang dimiliki namun isinya tidak benar, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000.000 (satu miliar) atau pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun.

 

PNBP Tambang

Salah satu sektor yang mendapat perhatian terkait PNBP adalah pertambangan. Publish What Your Pay (PWYP) Indonesia menilai industri pertambangan merupakan salah satu subsektor yang masih banyak menunggak PNBP dalam jumlah besar. Kepala Divisi Advokasi PWYP Indonesia, Aryanto Nugroho, mengimbau agar pemerintah bertindak tegas terhadap perusahaan tambang yang menunggak PNBP.

 

Menurutnya, salah satu penyebab besarnya tunggakkan tersebut akibat lemahnya pengawasan dari Ditjen Minerba sebagai regulator subsektor pertambangan. “Pengawasan lemah sekaligus minim penegakan hukum terhadap perusahaan penunggak PNBP,” kata Aryanto menanggapi persoalan ini.

 

Dia meminta pemerintah segera mempublikasikan daftar perusahaan sekaligus nama pemilik perusahaan penunggak PNBP tersebut. “Publikasikan nama-nama perusahaan yang menunggak PNBP termasuk nama pemiliknya. Sudah saatnya mengejar pemilik sebenarnya dari perusahaan-perusahaan tersebut karena bisa jadi pemilik perusahaan-perusahaan (penunggak) adalah orang yang sama,” katanya.

 

Aryanto mengamati banyaknya perusahaan tambang penunggak PNBP akibat implementasi UU No.23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (UU Pemda) yang tidak berjalan baik. UU Pemda ini mewajibkan perpindahan data dari tingkat kabupaten dan kota ke provinsi karena sebagai bentuk peralihan kewenangan pengawasan. “Proses pelimpahan data ini yang tidak clear,” jelasnya.

 

Perusahaan penunggak PNBP tersebut, menurut Aryanto, harus mendapatkan sanksi tegas berupa pencabutan perizinan apabila masih tidak mau memenuhi kewajibannya tersebut. “Misalnya perusahaan tidak dapat izin ekspor dan perizinan lain kalau belum bayar PNBP,” ujarnya.

 

Terkait hal itu, Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono, menjelaskan bahwa PNBP untuk subsektor mineral dan batubara yang dikelola Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencapai Rp41,77 triliun per 16 November 2018.

 

Bambang mengatakan PNBP minerba tersebut telah melebihi target APBN 2018 Rp32,1 triliun. Komposisi itu terdiri dari royalti Rp24,84 triliun (60 persen), penjualan hasil tambang Rp16,43 triliun (39 persen), dan iuran tetap yang berhubungan dengan lahan Rp0,49 triliun (1 persen).

 

Pada 2017, realisasi penerimaan minerba mencapai Rp40,6 triliun terdiri dari royalti Rp23,2 triliun (57,2 persen), penjualan hasil tambang Rp16,9 triliun (41,5 persen), dan iuran tetap Rp0,5 triliun (1,3 persen).

 

Bambang menjelaskan bahwa penerimaan negara dari minerba ini tergantung fungsi daripada harga dan produksi. “Sepanjang fungsi harga dan produksi naik, PNBP juga akan naik,” katanya, Rabu (21/11).

 

Bambang menjelaskan pemerintah tidak bisa mengontrol dari sisi harga karena mengikuti pasar internasional. Namun, fungsi produksi bisa dikontrol oleh pemerintah untuk mementukan seberapa besar PNBP minerba. Fungsi produksi ini dalam penyusunannya juga selalu dikonsultasikan ke Badan Anggaran DPR RI.

(red)*

Baca juga:  Bupati Talaud "3 Periode" Resmi Dilantik Mendagri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *