SULUT, TI – Pesona dan daya tarik kilauan emas menjadi alasan area-area atau lokasi tambang diserbu masyarakat penambang.
Penambangan emas tanpa ijin (PETI) menjadi jaringan yang kuat dalam pusaran pertambangan termasuk dibeberapa wilayah di Sulawesi Utara.
Hal tersebut, menjadi sorotan serius dari lembaga swadaya masyarakat aliansi masyarakat transparansi indonesia (LSM-AMTI).
Ketua umum DPP LSM-AMTI, Tommy Turangan SH menyoroti penambangan emas tanpa ijin yang ada diwilayah Ratatotok, Kabupaten Minahasa Tenggara yang terus menuai sorotan publik.
Apalagi, dengan munculnya korban jiwa dari masyarakat akibat terkena peluru dari aparat penegak hukum yakni dari oknum anggota Polri yang bertugas di Polda Sulut.
“Jaringan penambangan emas tanpa ijin, dan peredaran sianida ilegal yang tentunya berdampak pada ekosistem lingkungan hidup dan kerusakan alam, dipastikan negara mengalami kerugian yang mencapai miliaran rupiah,” ujar Tommy Turangan SH.
Gelombang modernisasi dan tuntutan pembangunan secara berkelanjutan dan juga tuntutan pemenuhan kebutuhan dasar hidup masyarakat, membuat masyarakat berbondong-bondong ke area tambang demi mendapatkan bongkahan-bongkahan material emas.
Puluhan tahun lamanya, warga diwilayah area pertambangan masih berkubang dalam aktivitas ilegal, yang dimana bukan saja melanggar hukum, tapi juga membuat kerusakan alam dan merampas hak generasi muda untuk menikmati alam yang sejuk.
Bahkan tak hanya itu saja, kerusakan alam oleh karena pertambangan emas tanpa ijin berpotensi terjadi bencana disekitar area tersebut, yang tentunya mengancam nyawa manusia.
Aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) dan penjualan sianida secara ilegal telah menjadi sumber penghidupan utama bagi sejumlah warga Ratatotok.
Bisnis gelap tak lagi menjadi rahasia, melainkan berlangsung secara terang-terangan di hadapan aparat penegak hukum dan pemerintah setempat yang seolah memilih menutup mata.
Sebagaimana dilansir dari media IDNEWS.CO, bahwa jaringan bisnis ilegal tersebut ternyata tak hanya melibatkan para penambang lokal, tapi juga diduga adanya keterlibatan oknum-oknum yang berkepentingan yang seharusnya menjaga tegaknya hukum.
Sikap yang terkesan diam dan bungkam serta pembiaran dari aparat penegak hukum membuat praktik-praktik ilegal tersebut seakan mendapat legitimasi sosial, meski secara hukum bertentangan dengan Undang-Undang Mineral dan Batubara, serta Undang-Undang Lingkungan Hidup yang berlaku di Indonesia.
Realitas sosial di Ratatotok hari ini memperlihatkan bagaimana hukum dan norma lingkungan dilangkahi demi kepentingan pribadi.
Demi meraup keuntungan materi sesaat, sebagian warga rela menabrak aturan negara yang mengatur tata kelola sumber daya alam secara berkelanjutan.
Ketua umum DPP LSM-AMTI, Tommy Turangan mengatakan, Mereka menambang tanpa izin, memperdagangkan bahan kimia berbahaya seperti sianida tanpa pengawasan, serta menebang hutan secara ilegal tanpa memperhitungkan dampak jangka panjangnya.
“Ironisnya, ketika hukum seharusnya menjadi tameng terakhir melindungi hak-hak rakyat dan alam, justru terjadi paradoks di mana aparat penegak hukum terkesan bisu, atau bahkan diduga bermain di balik praktik haram tersebut”, tegas aktivis pentolan FH Unsrat tersebut.
Dirinya juga mengatakan kembali, Dugaan keterlibatan oknum penegak hukum dan pejabat lokal dalam pusaran bisnis ilegal sangat memperumit upaya penertiban yang selama ini digembar-gemborkan pemerintah pusat.
Bahkan kata Turangan, Kerugian negara akibat aktivitas tambang ilegal ini bukan sekadar hitungan nominal pajak dan royalti yang tak masuk kas negara.
Lebih dari itu, jelas Turangan dampak ekologis yang ditimbulkan dari kegiatan tambang ilegal dan peredaran sianida tanpa kontrol telah memicu ancaman kerusakan lingkungan yang sulit dipulihkan dalam waktu dekat.
“Kawasan hutan produksi terbatas yang seharusnya dijaga sebagai benteng terakhir kelestarian lingkungan, kini porak-poranda oleh aktivitas tambang ilegal yang menjalar ke hampir seluruh perbukitan Ratatotok,” tandas Aktivis yang vokal ini.
Lebih jauh lagi kata Turangan, Lereng-lereng pegunungan yang dulunya hijau kini berubah menjadi kubangan lumpur dan pasir hasil eksploitasi tanpa ampun. Pemandangan hutan gundul dan sungai-sungai yang tercemar limbah merkuri dan sianida menjadi saksi bisu kehancuran lingkungan yang disebabkan oleh kerakusan manusia.
“Jika situasi terus dibiarkan tanpa tindakan nyata, Ratatotok tidak hanya kehilangan sumber daya alamnya, tetapi juga menghadapi ancaman bencana ekologis seperti longsor, banjir bandang, hingga krisis air bersih akibat pencemaran lingkungan yang massif,” ungkapnya.
“Saat ini terlihat kawasan perbukitan Ratatotok telah berubah secara masif, hal tersebut oleh karena aktivitas pertambangan tanpa ijin yang tak terkontrol dengan menggunakan alat berat, dan ini sangat membahayakan di masa depan, bukan saja dihantui oleh berbagai potensi bencana, tapi juga merusak alam dan ekosistem lingkungan akan membawa dampak buruk bagi kehidupan manusia dimasa depan,” tambah Turangan.
Lanjutnya, saat ini terlihat puluhan lokasi tambang liar berjejer tanpa pengawasan, beroperasi dengan alat berat hingga malam hari.
Suara mesin diesel, dentuman alat pemecah batu, dan lalu lintas kendaraan pengangkut material tambang menjadi pemandangan sehari-hari yang seolah telah dianggap biasa.
Dan lebih ironisnya lagi, beberapa lokasi tambang bahkan terletak di dalam kawasan hutan lindung dan hutan produksi terbatas, melanggar berbagai regulasi yang mengatur kawasan konservasi dan perlindungan ekosistem.
Tidak ada papan peringatan, tidak ada portal larangan, seakan hukum tidak berlaku di wilayah ini.
Begitu juga, distribusi sianida ilegal yang digunakan untuk memisahkan emas dari batuan juga terus berlangsung tanpa kontrol.
Zat kimia berbahaya tersebut, jika tidak dikelola dengan baik, berpotensi mencemari air tanah dan membahayakan kesehatan warga sekitar.
Sayangnya, hingga saat ini belum ada tindakan tegas untuk memutus rantai distribusi zat beracun tersebut.
Pertanyaan besar yang kini menggema di tengah masyarakat Ratatotok adalah, ke mana aparat penegak hukum yang selama ini diandalkan untuk menjaga supremasi hukum? Mengapa aktivitas yang secara terang-terangan melanggar hukum dan merusak lingkungan ini terus dibiarkan?
Padahal, dalam berbagai kesempatan, pemerintah pusat hingga jajaran kepolisian dan kejaksaan telah menegaskan komitmennya untuk menindak tegas pelaku tambang ilegal.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya. Ratatotok seperti berada di luar radar penegakan hukum, dibiarkan menjadi “surga kecil” bagi para pemburu keuntungan ilegal.
Kondisi ini mencerminkan lemahnya pengawasan dan minimnya keberanian aparat untuk bertindak tegas.
Tidak menutup kemungkinan, terdapat dugaan praktik suap, perlindungan oleh oknum, atau kepentingan politik yang membungkam upaya-upaya penegakan hukum secara adil dan transparan.
Masyarakat Ratatotok kini berada di persimpangan jalan yang sulit. Bertahan dengan zona nyaman bisnis ilegal yang cepat menghasilkan, namun merusak masa depan dan menciptakan ketergantungan yang berbahaya? Atau mulai beralih ke sektor usaha legal seperti pertanian, pariwisata, atau pertambangan rakyat yang terdaftar resmi, yang meski lambat tapi berkelanjutan dan ramah lingkungan?
Namun perubahan itu hanya akan terjadi jika pemerintah daerah, aparat penegak hukum, serta lembaga terkait benar-benar hadir untuk mendampingi, menertibkan, dan memberi solusi, bukan sekadar melakukan razia seremonial yang bersifat musiman.
Sejumlah Pengamat lingkungan hidup, aktivis antikorupsi, serta tokoh masyarakat Sulawesi Utara terus mendesak agar pemerintah pusat turun tangan langsung menyelesaikan persoalan Ratatotok.
Pihak berkompeten baik dari aparat penegak hukum, kementerian lingkungan hidup dan kementerian ESDM harus mengambil langkah-langkah strategis seperti moratorium tambang ilegal, audit lingkungan menyeluruh, serta penindakan tegas terhadap distributor sianida ilegal harus segera dilakukan. Jika semua pihak terus berpangku tangan, maka sejarah kelak akan mencatat Ratatotok sebagai daerah yang hancur bukan karena kemiskinan, tapi karena pembiaran dan pengkhianatan terhadap hukum serta alamnya sendiri,” tutup Turangan. (T2)*