Sulut, transparansiindonesia.co.id — MENCARI narasi yang sejuk dan konstruktif memang mudah didapati, apalagi yang bersifat memberi harapan. Sekilas saja kita menaruh perhatian pada konteks sosial saat ini, dimana pasca pengumuman hasil Pemilu Serentak tahun 2019 masih ada sisa-sisa perdebatan di media massa.
Dinamika publik itu perlu tarik pencerahan minimal untuk kepentingan kita bahwa segala dialektika politik harus mengintegrasikan kita. Bukan sebaliknya mempolarisasi kita, mengacaukan kerukunan nasional.
Dalam konteks lokal, di Kota Manado mulai ramai dibincangkan soal bakal calon Walikota dan Wakil Walikota yang melahirkan beragam diskursus dari sendi demokrasi kita. Bila diletakkan pada ruang edukasi, maka semua konteks dan ruang itu harus melahirkan pembelajaran yang mendewasakan.
Kita berharap dari rotasi wacana melahirkan rasionalitas dan nasionalisme yang kokoh, bukan sekedar retorika. Seperti itu pula jika kita bertolak dari keiginan mewudkan ‘revolusi mental’, berarti kita bergerak untuk menciptakan. Mematerialkan ide tersebut, bukan mengarahkan dan menyesatkan ide itu pada ruang gelap ilusi.
Kita juga diyakini telah mengantongi sejumlah alasan untuk diajukan kedepan, gunanya apa? diantaranya adalah untuk memastikan dalam tiap proses demokrasi ada progres. Masyarakat secara keseluruhan menghendaki harus naik kelas, tidak boleh stagnan.
Dari orientasi itulah, diperlukan kesamaan persepsi dan tekad. Upaya konkritnya, tentu harus secara seriua kita melacak siapa musuh bersama, mengidentifikasi apa yang prioritas untuk dilakukan Negara. Tidak malah menghabiskan waktu pada perdebatan-perdebatan yang menguras energi, sampai-sampai waktu kita terbuang percuna dan kita terbelah.
Karena kita optimis betul demokrasi itu menjadi alat bagi masyarakat dalam mengaregasi kepentingan. Disini pula kita berekspektasi akan menemukan penyaluran kesejahteraan dan keadilan, ada kepastian kita dalam menggunakan sistem ini. Sehingga masyarakat tidak dibuat larut dalam arus perdebatan.
Iya, ‘revolusi itu menciptakan’. Bagaimana kita menciptakan kebersamaan, menciptakan peradaban demokrasi yang aman, setara dan adil. Meski sekarang sering bergeser interpretasi terhadap revolusi itu yang seolah disama dengan praktek makar.
Masyarakat diplot dan ditarik ke ruang sempit, semacam teror psiologis sehingga takut menggunakan frase revolusi. Sebab, bisa berdampak dituduh melakukan subversif, melanggar UU ITE, dan seterusnya. Akhirnya diskursus publik menjadi kaku dan kering dari kritik.
Yang dikehendaki revolusi itu menciptakan karya nyata, bukan menciptakan ketakutan. Menjadi ironi, bila makna revolusi dan penyampaian aspirasi direduksi menjadi ancaman. Situasi seperti ini harusnya dikoreksi secara total, jangan didiamkan apalagi dilestarikan sebagai tradisi suci.
(T2)*
Oleh/Catatan kecil Bung Amas.