“banjir–longsor Aceh–Sumatera kian parah, Otban VIII Manado ambil alih distribusi logistik lewat jalur udara”.

TRANSPARANSIINDONESIA.CO.ID, MANADO,- Gelombang Banjir besar dan longsor yang menerjang Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dalam beberapa pekan terakhir mengungkapkan betapa rentannya sejumlah daerah di Indonesia terhadap bencana berbasis hidrometeorologi.
Kerusakan tidak hanya menjalar pada pemukiman dan Infrastruktur Vital, tetapi juga mengoyak Stabilitas Sosial Masyarakat yang tiba-tiba harus bertahan di tengah minimnya Akses Air Bersih, layanan Kesehatan, hingga Kebutuhan Dasar.
Dari laporan berbagai instansi, ribuan warga mengungsi, puluhan rumah hanyut, fasilitas pendidikan lumpuh, dan jalur transportasi di beberapa kecamatan terputus.
Sejumlah daerah bahkan masih berada dalam status darurat karena kondisi tanah yang labil dan curah hujan yang belum menunjukkan tanda mereda. Situasi ini menuntut respons cepat, terukur, dan terkoordinasi lintas sektor.
Melihat eskalasi bencana yang kian meluas, Kantor Otoritas Bandar Udara Wilayah VIII (Otban VIII) Manado mengambil langkah proaktif dengan menggerakkan seluruh bandara di wilayah kerjanya untuk terlibat dalam penggalangan bantuan.
Gerakan ini menjadi bukti bahwa sektor penerbangan sipil tidak boleh hanya berdiri sebagai regulator teknis, melainkan harus menunjukkan relevansinya dalam situasi darurat kemanusiaan.
Kepala Kantor Otban VIII, Ambar Suryoko, menegaskan bahwa yang dibutuhkan saat ini bukan sekadar simpati, melainkan kerja nyata yang mampu menembus hambatan birokrasi dan operasional.
“Kami memahami bahwa dalam situasi seperti sekarang setiap menit sangat berarti. Bantuan bukan hanya tentang barang yang terkumpul, tetapi tentang seberapa cepat bisa tiba di tangan warga yang membutuhkan. Karena itu Saya memilih intervensi langsung dari seluruh bandara yang berada di bawah koordinasi Otban VIII,” tegas Ambar.
Ia juga menambahkan bahwa instansi pemerintah harus berani mempercepat respons ketika jaringan darat terputus dan akses logistik konvensional tidak memungkinkan.Bantuan Dihimpun dari Seluruh Bandara, Bukti Kolaborasi yang Tidak Seremonial.
Penggalangan bantuan dilakukan melalui mekanisme partisipatif, melibatkan pegawai bandara, unit usaha penunjang, mitra penerbangan, hingga komunitas pekerja aviasi yang tersebar di berbagai kota di Sulawesi.
Seluruh bantuan diseleksi agar sesuai kebutuhan lapangan dan tidak menjadi beban tambahan bagi daerah terdampak—sebuah praktik yang sering luput dalam operasi kemanusiaan di Indonesia.
pangan siap konsumsi dan bahan pokok untuk kebutuhan jangka pendek, perlengkapan kesehatan, obat-obatan, dan sanitasi warga,pakaian dan perlindungan dasar untuk lokasi pengungsian,perangkat pendukung kebersihan lingkungan dan perlengkapan bayi.
serta kebutuhan darurat lain yang teridentifikasi melalui laporan instansi penanggulangan bencana di daerah.
Salah satu langkah strategis yang dipilih Otban VIII adalah penggunaan pesawat kalibrasi milik Balai Besar Kalibrasi Fasilitas Penerbangan, Direktorat Jenderal Perhubungan Udara.
Pemanfaatan pesawat tersebut menjadi terobosan penting karena tidak semua jalur penerbangan dapat digunakan untuk misi kemanusiaan jika tidak melibatkan otoritas penerbangan secara langsung.
Dengan kemampuan terbang ke bandara-bandara kecil serta akurasi navigasi yang tinggi, pesawat kalibrasi dapat menjangkau wilayah atau kota yang berada dekat titik bencana, sehingga penyaluran logistik bisa dilakukan lebih cepat ketimbang menunggu normalisasi jalur darat.
Langkah ini sekaligus menunjukkan bahwa negara memiliki instrumen udara yang dapat dioptimalkan dalam situasi darurat, bukan hanya sekadar menjalankan fungsi pengujian fasilitas navigasi.
Dalam pernyataannya, Ambar Suryoko menekankan bahwa penanganan bencana membutuhkan kolaborasi lintas instansi—bukan hanya sektoral dan bukan pula rutinitas seremonial yang berhenti pada konferensi pers.
“Solidaritas tidak boleh berhenti pada imbauan moral. Kita harus terus memperkuat jaringan bantuan, menghapus sekat sektoral, dan memastikan bahwa setiap kebijakan diarahkan pada percepatan pemulihan warga,” ujarnya.
Langkah Otban VIII diharapkan mampu mendorong instansi lain untuk terlibat lebih aktif.Dirinya menegaskan bahwa mempercepat bantuan bukan sekadar tugas pemerintah daerah, tetapi menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, institusi teknis, sektor swasta, hingga masyarakat luas.
Meski bantuan hari ini menjadi kebutuhan mendesak, peristiwa banjir dan longsor di tiga provinsi tersebut harus dibaca sebagai peringatan keras.
Ketergantungan pada respons cepat tidak akan efektif tanpa dibarengi evaluasi mendalam terhadap tata ruang, pembangunan daerah rawan bencana, dan mitigasi jangka panjang yang selama ini sering terabaikan.
Sektor penerbangan yang terlibat dalam operasi darurat juga diharapkan dapat mendorong percepatan audit keselamatan bandara di wilayah rawan bencana, terutama terkait jalur evakuasi dan ketersediaan fasilitas penanggulangan darurat.
Dengan langkah yang dilakukan Otban VIII dan jajarannya, kebutuhan mendesak masyarakat setidaknya bisa terjawab sementara, sembari pemerintah menyiapkan fase pemulihan dan rekonstruksi jangka panjang.
(kontributor sulut, wahyudi barik)


