“LSM AMTI apresiasi ketegasan Kejati: “Koruptor di Sulut harus dibersihkan total!”.

TRANSPARANSIINDONESIA.CO.ID, HUKRIM- MANADO,- Menjelang peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Harkordia) yang jatuh setiap 9 Desember, Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara (Kejati Sulut) menunjukkan langkah konkret dalam perang melawan korupsi.
Tidak sebatas slogan tahunan, Kejati Sulut justru memilih memanfaatkan momentum ini untuk mengirim pesan keras, korupsi tidak lagi ditoleransi di institusi pendidikan, birokrasi, maupun lembaga publik lain.
Pesan itu berwujud melalui penetapan dan penahanan dua tersangka dalam kasus dugaan korupsi dana kerja sama, pada Pusat Penelitian Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam (PPLH-SDA) Universitas Sam Ratulangi (UNSRAT) Manado.
Kasus yang berlangsung selama hampir satu dekade, yakni sejak 2015 hingga 2024, akhirnya memasuki babak baru setelah penyidik menemukan sejumlah pelanggaran serius terkait tata kelola dana kerja sama dengan perusahaan strategis negara.
Kejati Sulut menetapkan dua mantan pejabat internal UNSRAT sebagai tersangka:
1. LT – Koordinator Kerja Sama periode 2015–2022
2. JL – Koordinator Kerja Sama periode 2022–2024.
Dua nama ini memegang peran kunci dalam pengelolaan dana kerja sama antara PPLH-SDA UNSRAT dengan PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) dan PT PLN UIP Sulbagut, dua perusahaan yang berhubungan langsung dengan pengembangan energi panas bumi dan jaringan ketenagalistrikan di wilayah Sulawesi.
Berdasarkan penyidikan, Kejati Sulut menemukan dua modus utama yang diduga menjadi cara sistematis para tersangka mengelola dana kerja sama secara tidak sah.
Penyidik menemukan bahwa para tersangka membuka empat rekening bank tanpa persetujuan tertulis dari Kuasa Bendahara Umum Negara (BUN).
Lebih dari sekadar pelanggaran administratif, tindakan ini melanggar PMK No. 252/PMK.05/2014 Pasal 5, yang secara tegas melarang instansi pemerintah membuka rekening penerimaan maupun pengeluaran tanpa izin resmi.
Rekening tersebut dugaan dijadikan “jalur abu-abu” untuk menampung dana kerja sama di luar mekanisme resmi keuangan negara.
Langkah itulah jika terbukti mengindikasikan adanya niat terselubung untuk menyembunyikan aliran dana, baik terkait pembayaran proyek maupun operasional kerja sama yang tidak tercatat dalam sistem akuntabilitas negara.
Modus kedua yang terungkap ialah adanya pembayaran kegiatan yang tidak didasari prestasi pekerjaan riil.
Hal ini termasuk pembayaran dalam penyusunan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Kejati menemukan, nihilnya bukti pertanggungjawaban yang sah, Tidak ada dokumen pendukung yang membuktikan pengerjaan, Tidak ada laporan kinerja yang mencerminkan pekerjaan nyata.
Padahal dalam kontrak kerja sama, Pasal 10 secara tegas mengatur bahwa pencairan dana hanya dapat dilakukan setelah pekerjaan terbukti dilaksanakan.
Inspektorat Jenderal Kemendikbudristek Saintek, melalui audit resmi, telah memastikan bahwa penyimpangan ini menimbulkan kerugian negara sebesar Rp4.323.954.230.
Jumlah tersebut bukan hanya angka tetapi mencerminkan,potensi hilangnya anggaran penelitian, terhambatnya program lingkungan, rusaknya tata kelola universitas negeri, serta memburuknya kepercayaan publik terhadap lembaga pendidikan tinggi.
Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejati Sulut, Januarius Bolitobi, menegaskan bahwa langkah ini merupakan bagian dari komitmen institusi untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum.
“Korupsi adalah musuh nyata dan kami tidak memiliki toleransi. Langkah penahanan menunjukkan komitmen dalam memberantas korupsi, terlebih menjelang Hari Antikorupsi Sedunia. Kejati akan bekerja keras mengembalikan kerugian negara dan membawa kasus ini ke tahap penuntutan,” tegas Bolitobi.
Bolitobi juga memastikan bahwa penyidikan masih terus berkembang, Penyidik akan memanggil saksi-saksi tambahan, menyita dokumen-dokumen penting, menelusuri aliran dana pada rekening-rekening yang terlibat, dan menggali potensi keterlibatan pihak lain.
Ketegasan Kejati Sulut juga diapresiasi oleh Ketua LSM AMTI, Tommy Turangan.
Menurut Turangan, apa yang dilakukan kejaksaan sudah tepat dan sesuai dengan semangat pemerintah pusat yang gencar membersihkan praktik korupsi di seluruh lini.
“Saya salut. Kejati Sulut bergerak tegas, keras, dan tanpa kompromi. Momentum Hari Antikorupsi adalah waktu yang tepat membersihkan para pelaku rasuah. Tidak boleh ada toleransi,” ungkap Turangan.
Turangan juga menyebutkan bahwa kasus ini harus menjadi pemantik untuk membuka penyelidikan atas kasus-kasus korupsi lain yang ia nilai masih “mengendap” di Sulawesi Utara.
” Seperti kasus dugaan korupsi Perumda Pasar Manado, kasus dugaan penyimpangan di Dinas Kominfo Sulut, serta sejumlah proyek yang menurutnya “masih menyisakan tanda tanya besar,” jelas Turangan.
“Menjelang tahun 2026, para koruptor harus sudah mendekam di penjara. Tahun baru harus dibuka dengan pemerintahan yang bersih dan berintegritas,” tambahnya.
Kasus ini kembali menyoroti lemahnya pengawasan internal di universitas negeri.
UNSRAT sebagai institusi pendidikan tinggi seharusnya menjadi pusat integritas dan etika, namun kenyataannya celah tata kelola keuangan, lemahnya kontrol dan audit internal, serta masih suburnya praktik pengelolaan dana kerja sama yang tidak terpantau negara.
Kejati Sulut menegaskan bahwa kasus ini bisa berkembang jika ditemukan fakta baru terkait pejabat lain, staf pendukung, maupun pihak swasta yang terlibat.
Kasus tersebut bukan sekadar penahanan dua pejabat UNSRAT.
Melainkan pesan politik-hukum bahwa tahun-tahun ke depan Sulawesi Utara akan menghadapi penegakan hukum yang lebih keras, lebih transparan, dan tidak lagi memberi ruang bagi permainan anggaran.
Dengan penyidikan yang terus berkembang, publik menunggu apakah kasus akan menjadi pintu pembuka untuk pengungkapan lebih banyak kasus korupsi yang selama ini disebut “tersembunyi” di berbagai instansi daerah.
( kontributor sulut, wahyudi barik)

