Akta Penjual Sudah Meninggal: Fondasi SHGB 3320 Dinilai Palsu, PTUN Manado Didorong Bongkar Rekayasa Dokumen

Advertorial, Hukum, SULUT16292 Dilihat

“Jual Beli Tanah yang Tidak Dikuasai Penjual: PPJB Jimmy Widjaja–Mumu Cs Dianggap Cacat Hukum”.

 

berbagai aktivitas dilakukan, (foto istimewa)
berbagai aktivitas dilakukan, (foto istimewa)

 

TRANSPARANSIINDONESIA.CO.ID,HUKRIM,MANADO,- Persidangan Sengketa Administrasi Pertanahan dengan Nomor Perkara 19/G/2025/PTUN.MDO di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Manado, kembali menghadirkan rangkaian fakta yang kian menajamkan dugaan bahwa penerbitan SHGB No. 3320/Desa Sea sarat penyimpangan serius.

Seluruh gambaran yang terungkap di hadapan Majelis Hakim memperlihatkan pola dugaan rekayasa dokumen dan ketidaktertiban, birokrasi sejak proses awal pendaftaran hingga peralihan hak.

Objek perkara bukan sekadar sebidang tanah, melainkan hamparan ±46 hektare bekas tanah Hak Barat (Erfpacht) yang sejak zaman kolonial dimiliki oleh perusahaan N.V Handel Maatschappij Toko Van Essen, didirikan oleh Sophia Van Essen-Furhop pada 1908.

Kini, tanah yang sudah puluhan tahun dikelola rakyat Desa Sea itu tiba-tiba berubah menjadi SHGB atas nama pihak lain, dan hal tersebut menjadi pangkal sengketa yang memuncak pada persidangan ini.

Pada sesi pembuktian, kuasa hukum penggugat, Noch Sambouw, S.H., M.H., C.M.C., membeberkan bahwa dasar penerbitan hak yang diajukan oleh pihak Mumu Cs mengandalkan Salinan Acta Erfpacht Verponding No. 38 tertanggal 9 Maret 1953.

Dokumen inilah yang diklaim sebagai bukti bahwa Sophia Van Essen menjual tanah tersebut kepada Albrecht Assa dan Jan Mumu.

Namun dari keterangan saksi, salinan akta itu justru menjadi titik utama yang menimbulkan keraguan besar.

Saksi MICHAEL HUTARA VAN ESSEN, cicit Sophia Van Essen, menyampaikan bahwa Sophia lahir tahun 1846 dan meninggal pada 1938.

Dengan demikian kata Noch Sambouw tidak mungkin Sophia menandatangani akta “jual beli” pada tahun 1953, karena ia telah meninggal 15 tahun sebelumnya.

Temuan ini memberi indikasi kuat bahwa dokumen yang digunakan untuk mengklaim tanah tersebut tidak berdiri di atas data otentik.

Saksi juga mengungkapkan bahwa tanah Erfpacht itu tidak pernah dijual kepada siapapun, melainkan diserahkan oleh Louis Rijken Van Essen kepada rakyat Desa Sea pada 1962, sebagai bentuk kepercayaan dan solidaritas setelah masa gejolak konflik di era Permesta.

“Artinya, ada riwayat sejarah yang secara moral dan faktual telah mengakui penguasaan rakyat atas tanah tersebut”, jela Sambouw.

Dirinya juga menjelaskan kembali,Ketika hakim meminta keaslian akta, Kepala Kantor Pertanahan Minahasa hanya menyodorkan salinan dalam bentuk ketikan, bukan fotokopi dokumen asli, dan dibuat oleh pegawai pembantu bukan pejabat struktural.

Baca juga:  Lakukan Kunker Ke Sulut, Menteri ESDM Disambut YSK Dan CEP

Keberadaan dokumen lanjutnya, yang tidak dapat diverifikasi secara autentik ini membuat nilai pembuktiannya lemah secara hukum, sesuai Pasal 1876 KUHPerdata.

Bukan hanya dokumen awal kata pengacara terkenal ini, yang tercoreng, tetapi juga proses penerbitan SHM No. 68/Desa Sea (yang kemudian diubah menjadi SHGB 3320) mengandung serangkaian kejanggalan yang dinilai bertentangan dengan regulasi pertanahan.

Sementara lanjut Noch Sambouw, saksi JOHAN PONTORORING, Hukum Tua Desa Sea periode 1987–1995, menerangkan bahwa ia menolak permohonan pengurusan konversi tanah yang diajukan oleh Mumu Cs karena, rakyat telah menghuni lahan sejak sebelum tahun 1960.

“Lahan diolah secara turun-temurun sebagai sumber penghidupan, tidak ada catatan sejarah yang menunjukkan lahan itu milik keluarga Mumu. Penolakan formal oleh pejabat desa merupakan sinyal kuat bahwa permohonan konversi tidak memenuhi syarat administratif maupun faktual,” ungkapnya.

Lebih jauh lagi, Pengacara kondangan ini menjelaskan bahwa, hal paling mengherankan adalah, meskipun tanah berada di Desa Sea (Minahasa), sebagian dokumen persyaratan konversi justru diterbitkan oleh Pemerintah Desa Malalayang Dua di wilayah Manado.

“Ini bertentangan dengan ketentuan dalam pada peraturan pemerintah (PP) Nomor.10 Tahun 1961, dan peraturan pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, yang menegaskan bahwa pengurusan tanah harus dimulai dari wilayah administratif tempat objek tanah berada, BPN Tidak Dapat Menunjukkan Surat-Surat dari Desa Sea,” ungkap Sambouw.

Sambouw juga mengatakan kembali, kepala Kantor Pertanahan Minahasa tidak mampu menghadirkan dokumen resmi apa pun dari Desa Sea yang seharusnya menjadi dasar wajib dalam proses pendaftaran tanah.

Ketiadaan dokumen ini menunjukkan adanya potensi, pengabaian prosedur, kelalaian administratif, atau adanya unsur kesengajaan untuk “mengamankan” proses pembuatan sertifikat melalui jalur yang tidak seharusnya.

Proses yang berjalan ini sindir Sambouw, disebut bertentangan dengan Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979, yang mengamanatkan bahwa tanah bekas HGU atau Hak Barat harus diprioritaskan bagi rakyat penggarap, terutama yang telah menempati dan mengolah lahan bertahun-tahun. Namun praktik di lapangan menunjukkan penyimpangan dari aturan tersebut.

Kejanggalan tidak berhenti pada tahap penerbitan sertifikat tutur Sambouw, tetapi berlanjut hingga ke proses jual-beli berikutnya.

Baca juga:  LSM-AMTI Minta Kapolres Minsel Tindaklanjuti Laporan Terkait Dugaan Korupsi Pada Proyek Pengasapalan Jalan Di Tomoka

” Pada Tahun 2009 tanah Sengketa Dipindahkan Antar Anggota Keluarga Mumu, kemudian pada tahun 2009, SHM No. 68 dialihkan dari Mintje Mumu kepada Mendi Antoneta Mumu padahal tanah itu sedang bermasalah, masih dalam penguasaan rakyat, belum memiliki sejarah penguasaan oleh pihak yang mengklaim sebagai pemilik,” urai Sambouw.

Hal inilah kata Sambouw bertentangan dengan Pasal 39 ayat 1 huruf (f) PP No. 24/1997 yang melarang peralihan hak atas tanah yang secara fisik dikuasai pihak lain.

Kemudian kata Sambouw, Mendi Antoneta Mumu menandatangani PPJB dengan Jimmy Widjaja. Namun PPJB ini dinilai tidak pernah melahirkan jual beli yang sah secara hukum karena, penjual tidak menguasai tanah secara fisik, tanah masih diolah rakyat,

Jelas bertentangan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 Tahun 2016 mengenai transaksi tanah yang tidak dikuasai secara nyata.

Sementara penggugat sendiri telah menguasai sebagian tanah sejak tahun 2002, sebagai warisan dari pendahulunya yang sudah tinggal di lokasi itu sejak awal 1960-an. Penggugat menyatakan tidak pernah ada konflik hukum hingga saat petugas BPN menyampaikan bahwa wilayah yang ia kuasai masuk ke dalam SHGB 3320, yang memicu sengketa ini.

Sementara itu, Berdasarkan seluruh rangkaian temuan, kuasa hukum berpendapat bahwa tindakan Kantor Pertanahan Kabupaten Minahasa telah bertentangan dengan asas ketelitian, mengabaikan asas kecermatan administrasi, melanggar prinsip objektivitas, melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB), tidak mengikuti aturan formal pertanahan yang berlaku.

Sertifikat yang terbit dinilai tidak hanya bermasalah secara formil, tetapi juga secara materiil.

Majelis hakim dijadwalkan membacakan putusan pada Jumat, 12 Desember 2025, masyarakat luas khususnya warga Desa Sea yang selama puluhan tahun menggantungkan hidup pada tanah tersebut, menunggu apakah pengadilan akan membatalkan sertifikat yang dinilai cacat hukum, mengembalikan hak rakyat penggarap, memperbaiki praktik administrasi pertanahan, atau justru mempertahankan keputusan birokrasi yang telah dipertanyakan validitasnya.

Perkara ini menjadi ujian penting bagi dunia peradilan administrasi, sekaligus menjadi sorotan publik terkait penyelesaian konflik agraria yang terus berulang di berbagai daerah di Indonesia.

 

(kontributor sulut, wahyudi barik )

 

 

Yuk! baca berita menarik lainnya dari TRANSPARANSI INDONESIA di GOOGLE NEWS dan Saluran WHATSAPP

Banner Memanjang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *