Perdebatan Hukum Memanas: Pemeriksaan Ahli Sidang 327/Pid.B/2025/PN Manado Kupas Akurasi Pasal, Istilah Teknis, hingga Dugaan Daluwarsa

Hukum, SULUT14265 Dilihat

“Pagar Yuridis’ Dipersoalkan: Pembela Bongkar Istilah Tanpa Dasar Hukum dalam Sidang Manado”.

saat kegiatan berlangsung, (foto istimewa)
saat kegiatan berlangsung, (foto istimewa)

TRANSPARANSIINDONESIA.CO.ID, HUKRIM, MANADO,- Sidang lanjutan perkara nomor 327/Pid.B/2025/PN Manado pada Kamis (11/12/2025) berlangsung dengan dinamika tajam sejak awal pemeriksaan saksi ahli yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Uji materiil terhadap konstruksi dakwaan membuka rangkaian sanggahan mendalam dari kubu pembela, terutama mengenai ketepatan pasal, terminologi hukum, serta hitungan waktu penuntutan pidana.

Ahli yang dihadirkan JPU memberikan penjelasan terkait dasar dakwaan yang bersandar pada Pasal 167 KUHP. Ketentuan tersebut memuat larangan memasuki rumah, ruangan, ataupun pekarangan tertutup tanpa izin.

Uraian ahli menyebut bahwa lokasi perkara telah memenuhi unsur pemidanaan karena dinilai berada dalam kekuasaan pihak pelapor.

Namun pembela langsung mengoreksi asumsi ahli dengan menunjukkan fakta bahwa area sengketa merupakan kebun terbuka tanpa batas fisik maupun penanda pagar.

Penasihat hukum terdakwa menekankan bahwa definisi pasal harus dikaitkan dengan unsur materiil yang melekat pada ketentuan tersebut.

“Rumusan pasal memberi batasan tegas. Tidak terdapat struktur bangunan, sekat ruang, atau bentuk pembatas yang bisa mengarah pada konsep pekarangan tertutup. Penerapan pasal menjadi cacat bila unsur dasarnya tidak terpenuhi,” ujar kuasa hukum dalam ruang sidang.

Perdebatan menguat ketika ahli mengusung istilah “pagar yuridis” sebagai landasan penjelasan mengenai batas tanah yang tercantum dalam sertifikat.

Baca juga:  Peduli Nyata, CEP Bantu Warga Korban Banjir Di Tiga Desa, Di Kecamatan Poigar

Pembela menilai istilah tersebut tidak dikenal dalam hukum positif Indonesia.

Konstruksi “pagar yuridis” dianggap sebagai istilah buatan yang tidak memiliki rujukan normatif dalam KUHP maupun peraturan pertanahan. Mereka menyoroti fakta lapangan yang menunjukkan bahwa lembaga pertanahan belum mampu menunjuk batas konkret lokasi sengketa.

Kuasa hukum Noch Sambouw mempertanyakan legitimasi penggunaan istilah tersebut.

“Bagaimana mungkin disebut terdapat pembatas yuridis bila lembaga teknis belum memberikan penegasan batas? Bahkan pemegang sertifikat pun mengakui tidak mengetahui batas spesifik lokasi. Itu memperlihatkan ketidakjelasan objek perkara,” tegasnya.

Sengketa argumentasi bertambah kompleks ketika pembela mengingatkan bahwa terdakwa, bersama keluarga dan warga, pernah dihadapkan pada perkara serupa pada 1999 dan memperoleh putusan bebas.

Menurut pembela, objek maupun inti persoalan memiliki kesamaan dengan perkara lama sehingga terdapat potensi nebis in idem—asas hukum yang melarang pengadilan memproses ulang perkara dengan materi identik.

JPU memberikan tanggapan berbeda. Menurut JPU, keberadaan perkara sebelumnya justru menggambarkan pola pengulangan tindakan yang dapat memperkuat dugaan penguasaan lahan tanpa hak.

Ahli menguraikan bahwa penilaian atas putusan masa lalu berada sepenuhnya dalam kewenangan majelis hakim, bukan ahli ataupun para pihak.

Pembahasan kemudian bergeser pada aspek daluwarsa penuntutan. Ahli memaparkan ketentuan Pasal 78 dan 79 KUHP yang mengatur bahwa perkara dengan ancaman pidana di bawah tiga tahun memiliki batas waktu penuntutan selama enam tahun.

Baca juga:  Pembabatan Hutan Untuk Aktivitas Tambang Semakin Menggila, LSM-AMTI Soroti Kinerja Kadis Kehutanan Sulut

Hal ini memunculkan perdebatan baru karena Berita Acara Pemeriksaan (BAP) mencatat penguasaan lahan mulai muncul pada 2017, sedangkan laporan resmi baru diajukan pada 2024.

Kubu pembela menilai tenggat waktu hukum sudah melampaui batas.

“Perhitungan dari 2017 menuju 2024 menunjukkan interval tujuh tahun. Batas maksimal penuntutan sudah terlewati. Itu berarti proses hukum berada di luar koridor waktu yang diperkenankan,” tegas Sambouw.

Pembela juga menyampaikan protes terkait keabsahan relas panggilan terhadap saksi pelapor. Mereka menyatakan bahwa surat panggilan tidak dikirim langsung kepada para pelapor, melainkan melewati institusi kepolisian.

Model penyampaian seperti itu dianggap tidak sejalan dengan ketentuan hukum acara yang mengharuskan pemanggilan dilakukan secara personal kepada pihak yang bersangkutan.

Majelis hakim menutup persidangan setelah seluruh poin keberatan dan penjelasan ahli disampaikan di hadapan persidangan.

Sidang berikut akan digelar untuk menilai kelengkapan dakwaan JPU. Kuasa hukum terdakwa menegaskan bahwa pihaknya akan terus menguji keseluruhan aspek dakwaan—from unsur pasal, konstruksi argumentatif, hingga prosedur penyidikan—guna memastikan proses persidangan berjalan sesuai prinsip keadilan.

 

(kontributor sulut, wahyudi barik)

 

Yuk! baca berita menarik lainnya dari TRANSPARANSI INDONESIA di GOOGLE NEWS dan Saluran WHATSAPP

Banner Memanjang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *