JAKARTA, TI – Memorandum of Understanding (MoU) atau nota kesepahaman antara Kementrian Dalam Negeri, Jaksa Agung, dan Kapolri dinilai tidak relevan, disaat upaya pemberantasan korupsi terus digaungkan.
Hal tersebut disampaikan oleh lembaga swadaya masyarakat aliansi masyarakat transparansi indonesia (LSM-AMTI).
Melalui ketua umum DPP LSM-AMTI, Tommy Turangan SH penanganan laporan dugaan kasus korupsi di daerah seharusnya menjadi wewenang kepolisian dan kejaksaan negeri maupun kejaksaan tinggi.
Karena, menurut Turangan banyak laporan termasuk laporan informasi dugaan kasus korupsi banyak tersendat di Inspektorat daerah.
Hal ini, menjadi sorotan Turangan oleh karena peran inspektorat dalam penanganan laporan-laporan kasus dugaan korupsi hanya terhenti di Inspektorat daerah dan hanya sampai pada tindakan tuntutan ganti rugi apabila ada indikasi terjadinya kerugian negara setelah dilakukan audit.
“Laporan-laporan terkait dugaan kasus korupsi di daerah baik dilakukan oleh SKPD maupun para kepala desa, selalu tidak diterima oleh kepolisian baik Polsek maupun Polres, hanya karena terhadang oleh adanya MoU tersebut,” kata Tommy Turangan.
Hal tersebut dijelaskan Tommy Turangan membuat inspektorat menjadi besar kepala, karena penanganan dugaan kasus korupsi di daerah harus melalui inspektorat.
“Agar dapat menekan terjadinya tindakan korupsi dan upaya pemberantasan korupsi hingga ke daerah-daerah maka Presiden Prabowo harus segera mencabut MoU antara Kapolri, Jaksa Agung dan Mendagri, karena dengan tameng MoU tersebut Inspektorat seakan menjadi besar kepala, karena menurut LSM-AMTI inspektorat terkesan menjadi tempat persembunyian para pelaku korupsi di daerah,” tegas Tommy Turangan SH. (T2)*