Nama Burhanuddin dan Hatta Ali Tercantum dalam Action Plan Fatwa ke MA

Nasional23 Dilihat

Jakarta, transparansiindonesia.co.id –Nama Burhanuddin dan Hatta Ali tercantum dalam action plan atau rencana aksi untuk mengurus fatwa ke Mahkamah Agung (MA) agar terpidana perkara cessie Bank Bali Djoko Soegiarto Tjandra tidak dieksekusi jika kembali ke Indonesia.

Hal ini terungkap dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum terhadap jaksa Pinangki Sirna Malasari selaku Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung (kejagung) yang dibacakan dalam persidangan, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (23/9/2020).

Diketahui, Jaksa mendakwa Pinangki dengan tiga dakwaan, yakni telah menerima suap dari terpidana perkara cessie Bank Bali Djoko Soegiarto Tjandra, melakukan tindak pidana pencucian uang serta melakukan pemufakatan jahat.

Pinangki didakwa telah menerima suap sebesar US$ 500.000 dari US$ 1 juta yang dijanjikan oleh Djoko Soegiarto Tjandra. Uang itu diterima Pinangki untuk mengurus fatwa MA melalui Kejagung agar pidana penjara yang dijatuhkan pada Djoko Tjandra berdasarkan putusan PK (Peninjauan Kembali) Nomor 12 Tanggal 11 Juni 2009 tidak bisa dieksekusi sehingga Djoko Tjandra bisa kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani hukuman pidana.

Dalam mengurus fatwa tersebut, Pinangki tiga kali menemui Djoko Tjandra di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 12 November, 19 November dan 25 November 2019 lalu.

Untuk melancarkan rencana tersebut, pada pertemuan 19 November 2019, Djoko Tjandra meminta Pinangki untuk mempersiapkan dan membuat rencana aksi terlebih dahulu dan membuat surat kepada Kejagung untuk mempertanyakan status hukum Djoko Tjandra.

Menanggapi hal ini, Pinangki menyanggupi dan akan menindaklanjuti surat tersebut. Pertemuan itu pun membahas mengenai biaya yang harus dikeluarkan Djoko Tjandra untuk mengurus permintaan fatwa MA. Pada saat itu, Pinangki secara lisan menyampaikan akan mengajukan proposal berupa rencana aksi yang isinya menawarkan rencana tindakan dan biaya untuk mengurus fatwa MA melalui Kejagung tersebut sebesar US$ 100 juta.

“Namun, pada saat itu Joko Soegiarto Tjandra hanya menyetujui dan menjanjikan US$10 juta yang akan dimasukkan ke dalam action plan,” kata Jaksa.

Action plan tersebut kemudian dibahas Pinangki, Joko Tjandra dan pengusaha yang juga mantan politikus Nasdem Andi Irfan Jaya dalam pertemuan di kantor Joko Tjandra di The Exchange 106, Kuala Lumpur, Malaysia, pada 25 November 2019. Andi Irfan Jaya disebut sebagai orang swasta yang akan bertransaksi dengan Joko Tjandra terkait pengurusan fatwa lantaran Djoko Tjandra tidak bersedia bertransaksi dengan Pinangki yang berstatus sebagai penyelenggara negara. Pertemuan itu juga turut dihadiri oleh Anita Kolopaking.

Baca juga:  Tito Karnavian; "Oknum Polisi yang Menendang Ibu di Babel, Sudah Dicopot dari Jabatannya"

“Pada pertemuan tersebut, terdakwa (Pinangki Sirna Malasari), Djoko Soegiarto Tjandra dan Andi Irfan Jaya membahas mengenai rencana/ planning berupa action plan untuk mengurus kepulangan Djoko Tjandra dengan menggunakan sarana fatwa MA melalui Kejaksaan Agung,” kata Jaksa.

Dalam action plan yang dibahas tersebut, muncul nama Burhanuddin dan Hatta Ali. Burhanuddin diduga merujuk pada Jaksa Agung ST Burhanuddin sementara Hatta Ali diduga merupakan mantan Ketua MA namun dalam surat dakwaan Jaksa, tidak disebutkan jabatan rinci Burhanuddin dan Hatta Ali. Burhanudin hanya disebutkan sebagai pejabat di Kejaksaan Agung, sementara Hatta Ali disebutkan sebagai pejabat di Mahkamah Agung.

Jaksa membeberkan, 10 rencana aksi untuk mengurus fatwa agar Djoko Tjandra tak dieksekusi. rencana aksi pertama adalah penandatangan Akta Kuasa Jual sebagai jaminan bila ‘security deposit’ yang dijanjikan Djoko Tjandra tidak terealisasi dan akan dilaksanakan pada 13- 23 Febuari 2020. Penanggung jawab di poin pertama adalah Djoko Tjandra dan Andi Irfan Jaya.

Kemudian di poin kedua, pengiriman surat dari pengacara kepada pejabat Kejagung, Burhanuddin (BR) yakni surat permohonan fatwa MA dari pengacara kepada Kejagung untuk diteruskan kepada MA yang akan dilaksanakan pada 24-25 Februari 2020.

Poin rencana aksi ketiga adalah pejabat Kejagung Burhanuddin mengirimkan surat permohonan fatwa MA kepada pejabat MA Hatta Ali (HA). Pelaksanaan aksi itu dilakukan pada 26 Februari – 1 Maret 2020 dengan penanggung jawab Andi Irfan Jaya dan Pinangki. Diketahui, pada Maret 2020, Hatta Ali masih menjabat sebagai Ketua MA.

Kemudian di poin aksi ke-4 disebutkan pembayaran 25 persen fee sebesar US$ 250.000 dari total US$ 1 juta yang telah dibayar uang mukanya sebesar US$ 500.000 dengan penanggung jawab Joko Tjandra yang akan dilaksanakan pada 1-5 Maret 2020. Kemudian, rencana aksi ke-5, yakni pembayaran konsultan fee media kepada Andi Irfan Jaya sebesar US$ 500.000 untuk mengondisikan media dengan penanggung jawab Djoko Tjandra yang akan dilaksanakan pada 1-5 Maret 2020.

Baca juga:  Coretan Wilson Lalengke, Terkait SE Kominfo Kota Medan

Pada poin aksi ke-6 disebutkan pejabat MA Hatta Ali menjawab surat pejabat Kejagung Burhanuddin. Penanggung jawabnya adalah Hatta Ali atau DK atau AK yang akan dilaksanakan pada 6-16 Maret 2020. Pada poin ke-7 pejabat Kejagung Burhanuddin menerbitkan instruksi terkait surat Hatta Ali yaitu menginstruksikan kepada bawahannya untuk melaksanakan fatwa MA. Penanggung jawaab adalah IF (belum diketahui)/P (Pinangki) yang akan dilaksanakan pada 16-26 Maret 2020.

Selanjutnya poin aksi ke-8 adalah ‘security deposit’ cair yaitu sebesar US$ 10.000. Artinya, Djoko Tjandra bakal membayar uang tersebut apabila rencana aksi ke-2 , ke-3, ke-6 dan ke-7 berhasil dilaksanakan. Penanggung jawabnya adalah Djoko Tjandra. Aksi ini akan dilaksanakan pada 26 Maret – 5 April 2020.

Selanjutnya poin aksi ke-9, Djoko Tjandra disebutkan kembali ke Indonesia tanpa menjalani eksekusi pidana penjara selama 2 tahun. Penanggung jawab poin aksi ke-9 ini adalah Pinangki/Andi Irfan Jaya/Joko Tjandra yang dilaksanakan pada April-Mei 2020.

Kemudian, pada poin aksi ke-10, yakni pembayaran fee 25 persen atau US$ 250.000 sebagai pelunasan atas kekurangan pemberian fee kepada Pinangki bila Djoko Tjandra kembali ke Indonesia seperti action ke-9. Penanggung jawab adalah Djoko Tjandra yang akan dilaksanakan pada Mei-Juni 2020.

Namun, kata JPU, kesepakatan rencana aksi tersebut tidak terlaksana satu pun. Padahal Djoko Tjandra telah memberikan uang muka sebesar US$ 500.000 sehingga Joko Tjandra pada Desember 2019 membatalkan rencana aksi dengan cara memberikan catatan pada kolom notes dengan tulisan tangan ‘NO’ kecuali rencana aksi poin ke-7 dengan tulisan tangan ‘bayar nomor 4,5’ dan action ke-9 dengan tulisan ‘bayar 10 M’ yaitu bonus kepada terdakwa bila Djoko kembali ke Indonesia.

“Rangkaian perbuatan terdakwa yang bermufakat jahat dengan Andi Irfan Jaya dan Djoko Soegiarto Tjandra untuk memberi hadiah atau janji berupa uang sebesar US$ 10 juta kepada pejabat di Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung dengan mengingat kekuasaan atau wewenang pejabat di MA dalam memberikan fatwa Mahkamah Agung melalui permohonan fatwa dari pejabat di Kejaksaan Agung,” katanya.

(T2)*