AMTI Kritisi Penambahan Kursi di DPR, Dianggap Pemborosan Anggaran Negara Rp37 Miliar

Berita Utama, Politik151 Dilihat
Alexius Bannetondok

JAKARTA, TransparansiIndonesia.com — Aliansi Masyarakat Transparansi Indonesia (AMTI) di Jakarta kembali menyoroti penambahan 15 kursi di DPR RI sebagaimana yang telah disepakati dalam Pansus RUU Pemilu. AMTI menilai Pemerintah dan DPR “gagal paham” dan tidak sejalan dengan logika publik. “Itu kebijakan yang “gagal dipahami” dan tidak sejalan dengan logika publik. Hal ini akan berdampak besar pada pemborosan anggaran negara yang jika dikalkulasi dapat mencapai Rp37 miliar untuk setiap tahunnya,” kata koordinator tim investigasi AMTI, Alexius Bannetondok, Kamis (6/7).

Alex menjelaskan, nantinya alokasi sebanyak Rp37 miliar itu diperuntukkan untuk membayar gaji para anggota DPR tersebut dan uang reses serta berbagai fasilitas lainnya. Lanjutnya bahwa penambahan anggaran itu akibat kursi di DPR dari 560 kursi jika mengalami penambahan lagi sebanyak 15 kursi maka totalnya akan bertambah menjadi 575 kursi.

“Harusnya wakil rakyat ini bertugas untuk menyerap aspirasi masyarakat yang kemudian diimplementasikan menjadi kebijakan-kebijakan yang pro terhadap rakyat kecil agar dapat didukung dan dipercaya oleh publik,” ujarnya.

Baca juga:  Terkesan Dadakan, DPRD Minsel Gelar Paripurna Yang Dinilai Cacat Dan Langgar Aturan

Dia mencontohkan semisal anggaran untuk membangun gedung baru DPR yang nilainya mencapai lebih dari Rp1 triliun padahal kinerja DPR tidak maksimal. Belum lagi bancaan anggaran proyek yang membuat para oknum anggota DPR terjerat kasus suap dan kini mendekam di penjara. Kemudian usulan revisi UU KPK oleh DPR, alihalih untuk memperkuat lembaga antikorupsi itu, revisi itu justru ditengarai sebagai upaya untuk memperlemah KPK.

“Menilik dari pengalam tersebut tentunya berakibat pada citra DPR yang semakin merosot tajam. Belum lagi kinerja yang dihasilkan DPR juga kurang terasa menyentuh masyarakat ataupun untuk memenuhi ekspektasi publik. Kita bahkan menyaksikan perilaku para oknum anggota DPR yang tak sejalan dengan agenda terwujudnya clean governance. Survei yang dilakukan sejumlah pihak pada 2017 ini bahkan diketahui bahwa DPR adalah lembaga terkorup di Indonesia,” terangnya.

Kasus terbaru yang juga kini menyita perhatian publik diketahui menyeret sejumlah anggota DPR yakni dugaan korupsi ”berjamaah” pada proyek pengadaan e-KTP yang ditengarai merugikan negara Rp 2,3 triliun dari total anggaran Rp 5,9 triliun.

Baca juga:  LSM-AMTI Minta Pjs Bupati Minsel Harus Netral

“Maka melihat rekam jejak tersebut tepatlah kiranya sebagian besar masyarakat tidak menyetujui penambahan kursi di DPR. Jumlah kursi yang bertambah di DPR juga tidak otomatis berarti komunikasi akan mengalir lancar dan serapan aspirasi menjadi tinggi ataupun kinerja DPR akan membaik. Namun sebaliknya sadar atau tidak, peluang untuk bertindak menyeleweng justru akan semakin bertambah. Kebijakan itu justru akan berpeluang menguntungkan pemodal besar bukan rakyat kecil. Sudah menjadi rahasia umum jika banyaknya kebijakan DPR yang tidak sejalan dengan logika publik,” kunci Alexius Bannetondok yang juga Wakil Pemimpin Redaksi Transparansi Indonesia. (*)

 

[TIM TRANSPARANSI INDONESIA]

Yuk! baca artikel menarik lainnya dari TRANSPARANSI INDONESIA di GOOGLE NEWS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *