Dugaan Aktivitas Ilegal Dan Ancam Kedaulatan Agraria, Rakyat Ratatotok Gugat PT. HWR
SULUT, TI – Kecamatan Ratatotok, Kabupaten Minahasa Tenggara diketahui memiliki kekayaan sumber daya mineral, bebatuan material yang mengandung emas, membuat para pelaku tambang berbondong-bondong ke wilayah tersebut.
Beberapa pelaku tambang, termasuk perusahaan melakukan aktivitas pertambangan, dan beberapa diantaranya diduga tak memiliki ijin tambang yang salah satunya diduga dilakukan oleh PT. Hakian Wellem Rumansi (PT. HWR).
Aktivitas PT. HWR di bumi Ratatotok mendapatkan sorotan tajam dari berbagai LSM, termasuk lembaga swadaya masyarakat aliansi masyarakat transparansi indonesia (LSM-AMTI).
Melalui Ketua Umum DPP LSM-AMTI, Tommy Turangan SH menyoroti akan aktivitas PT. HWR di area pertambangan yang juga diduga melakukan penyerobotan lahan milik warga.
Aksi penyerobotan lahan tersebut, tentunya menimbulkan kemarahan warga, dan mendapat kecaman dari LSM Aliansi Masyarakat Transparansi Indonesia.
“Sangat mengecam aktivitas pertambangan dari PT. HWR apalagi diduga juga sampai melakukan penyerobotan lahan milik warga, tentunya aparat penegak hukum harus memperhatikan hal ini, jangan sampai terjadi hal-hal yang tak diinginkan bersama oleh karena kemarahan warga,” ujar Turangan.
Selain dugaan melakukan penyerobotan lahan, LSM-AMTI juga menyoroti berbagai pelanggaran lainnya dari PT. HWR, seperti pelanggaran standar operasional prosedur, dan juga aktivitas yang mengancam kedaulatan agraria.
Dan dijelaskan Turangan bahwa seharusnya pihak aparat penegak hukum (APH) harus bergerak cepat mengambil langkah-langkah antisipatif dan memanggil serta menahan pemilik perusahaan tambang PT. HWR.
“Aktivitas pertambangan yang dilakukan PT. HWR selama beberapa waktu terakhir memunculkan beragam persoalan serius, bahkan tidak hanya menyangkut aspek legalitas, tetapi juga menyangkut aspek sosial, lingkungan, dan pelanggaran terhadap prinsip dasar hak atas tanah,” jelas aktivis pentolan FH Unsrat tersebut.
Menurut Tommy Turangan SH, warga mengklaim yang lahannya diserobot menyebut bahwa tidak pernah terjadi proses pembebasan lahan yang sah, namun alat berat milik perusahaan telah masuk dan melakukan penggalian serta aktivitas eksplorasi.
Dan berdasarkan keterangan warga yang tergabung dalam aksi unjuk rasa, perusahaan tambang tersebut dinilai telah bertindak sewenang-wenang dengan memasuki dan mengeksploitasi lahan yang status kepemilikannya masih jelas berada di tangan masyarakat.
“Kami tidak pernah menandatangani pelepasan hak, tidak ada ganti rugi, dan tidak pernah ada sosialisasi. Tapi tiba-tiba alat berat masuk, pohon kami diratakan. Ini jelas bentuk penyerobotan,” ungkap Yulianus, seorang pemilik lahan yang hadir dalam aksi, Selasa (15/7/2025).
Menurut warga, kejadian bukan saja kali pertama perusahaan tambang bertindak di luar prosedur. Namun, dalam kasus PT. HWR, tindakan tersebut semakin mencolok karena dilakukan di tengah penolakan dari masyarakat dan dalam situasi izin operasi yang masih dipertanyakan.
“Ini bukan sekadar persoalan teknis, namun adalah perampasan hak masyarakat atas tanah yang dilindungi konstitusi. Tindakan PT. HWR merupakan bentuk kejahatan agraria yang tidak boleh dibiarkan,” ujar Turangan, aktivis yang getol memperjuangkan kepentingan rakyat.
“Penyerobotan tanah merupakan tindakan yang melanggar undang-undang, hal tersebut tertuang dalam pasal 385 KUHP, dan juga melanggar asas legalitas dalam UU pokok agraria nomor 5/1960,” tambahnya.
Selanjutnya, Turangan pun mendesak agar Kementerian terkait didalamnya kementerian ESDM, dan pihak kepolisian dapat segera mengambil tindakan hukum terhadap PT. HWR.
Lebih mengkhawatirkan lagi, PT. HWR ternyata sudah pernah mendapat penolakan resmi dari Kementerian ESDM atas pengajuan Rencana Anggaran dan Kerja Biaya (RAKB), yang seharusnya menjadi dasar bagi keberlanjutan aktivitas pertambangan.
Namun anehnya, kendati dokumen penting tersebut ditolak, perusahaan tetap melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi.
Dalam sistem perizinan tambang yang diatur dalam UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), penolakan RAKB oleh ESDM secara otomatis menangguhkan atau bahkan menggugurkan hak operasi sebuah perusahaan.
Jika perusahaan tetap melanjutkan kegiatan tambangnya, maka dapat dikenai sanksi administratif hingga pidana, sesuai dengan ketentuan pasal 158 UU Minerba.
“Ini pelanggaran terbuka terhadap peraturan negara. Jika tidak segera ditindak, ini menjadi preseden buruk bahwa perusahaan tambang bisa melawan negara dan hukum,” tambah Turangan.
Sebagai tambahan fakta yang menguatkan dugaan pelanggaran, DPRD Kabupaten Minahasa Tenggara sudah pernah secara resmi merekomendasikan penghentian kegiatan PT. HWR pada April 2025 lalu.
Rekomendasi itu muncul setelah digelarnya Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan menghadirkan pihak perusahaan, perwakilan warga, dan unsur pemerintah daerah.
Dalam hasil RDP, disebutkan bahwa PT. HWR belum memenuhi kewajiban administratif, tidak memiliki SOP keselamatan kerja yang memadai, dan belum menunjukkan kontribusi nyata terhadap masyarakat lokal. Bahkan perusahaan dinilai mengabaikan prinsip lingkungan hidup yang berkelanjutan.
“PT. HWR tidak bisa menunjukkan satu pun program CSR untuk warga Ratatotok, dan tidak ada jaminan keselamatan kerja yang diberikan kepada para pekerjanya. Maka kami DPRD secara resmi merekomendasikan penghentian sementara hingga tuntas semua aspek,” ungkap seorang anggota DPRD yang mengikuti rapat.
Dengan menguatnya dugaan pelanggaran hukum dan administratif oleh PT. HWR, LSM-AMTI bersama sejumlah elemen masyarakat sipil kini mendorong tiga langkah konkret:
1. Pencabutan Izin Operasi oleh Kementerian ESDM.
2. Tindakan hukum dari Polda Sulawesi Utara, termasuk pemasangan garis polisi (police line) di lokasi.
3. Instruksi Gubernur Sulut untuk tidak memberikan dukungan terhadap kegiatan tambang yang tidak berpihak pada rakyat.
“Jika negara tidak hadir, maka konflik horizontal akan makin meluas. Ini bukan sekadar tambang—ini soal hak hidup masyarakat lokal,” ujar Turangan.
Kasus PT. HWR adalah satu dari sekian contoh bagaimana investasi pertambangan yang dikelola tanpa transparansi dan akuntabilitas bisa menjadi ancaman serius bagi keadilan agraria, lingkungan, dan keberlangsungan sosial masyarakat lokal. Negara harus hadir melalui instrumen hukum dan pengawasan yang kuat. (T2)*