Manado/transparansiindonesia – Sejatinya media dan jurnalis ibarat pedang bermata dua. Memiliki sisi baik atau positif, yakni media memberikan informasi mendidik bagi masyarakat dengan pemberitaannya, namun sisi buruk media mengkompori sebuah persoalan, misalnya kasus-kasus toleransi yang terjadi di Indonesia.
Demikian benang merah diskusi yang digelar dalam rangka HUT AJI ke-23 bertema: Media dan Ancaman Intoleransi yang digelar di Sekretariat AJI Manado, Senin 7 Agustus 2017. Mengawali diskusi Ketua AJI Manado, Yoseph E Ikanubun menceritakan sejarah singkat AJI dan keberpihakan terhadap berbagai isu yang menerpa kaum minoritas, termasuk kasus intoleransi.
“AJI lahir 7 Agustus 1994 di Sirnagalih Bogor, dengan nama Deklarasi Sirnagali, sebelumnya ada tiga media yang dibredel: Tempo, Detik dan Editor. Dan sekarang sudah berusia 23 tahun. AJI lahir disaat rezim Soeharto berkuasa sehingga AJI kala itu dicap sebagai organisasi terlarang. Gerakan AJI cenderung dilakukan bawah tanah. Akibatnya tiga pendiri AJI dicebloskan ke penjara,” kata Yoseph. AJI selalu berpihak pada kaum marginal karena visi misi sudah jelas. Dimana poin ke-7 misi AJI yakni berjuang untuk pemberantasan korupsi dan membela kaum marginal.
“AJI juga berpihak pada kaum LGBT atas nama kemanusiaan. Dan kami selalu menjaga jarak dengan pemerintah sebagai organisasi yang independen. Dan pembuktiannya, sampai saat ini kami menolak dana APBD maupun APBN,” jelasnya. Waktu lalu, kata dia, terjadi pro kontra soal pembubaran HTI. “Kita berpikir apa yang dialami HTI masalah prosedur yakni cara pembubarannya yang dilakukan tidak jelas. Karena HTI memanfaatkan kebebasan berekspresi. Hanya saja apa yang dilakukan pemerintah dengan Perppu Ormas-nya ikut mengancam keberadaan AJI ke depan,” terang Yoseph lagi. Dalam diskusi yang dipandu Agust Hari (Ketua Bidang Organisasi AJI Manado), kemudian mendaulat Maximus Watung sebagai pemantik kedua diskusi. Wakil Ketua Bidang Hukum dan HAM Pemuda Katolik Sulut ini banyak berbicara masalah hukum yang belum menjadi panglima di negeri ini.
“Persoalan intoleransi tidak akan merebak kuncinya sederhana semua pihak taat pada hukum. Tapi yang terjadi saat ini negara justru tidak menegakkan aturan dan hukum yang sudah dibuat. Lihat saja, banyak terjadi penutupan gereja, pertikaian antar agama karena negara tidak hadir,” ujar Koordinator Presidium Swara Manguni Sulut ini. Kata dia, persoalan intoleransi bisa berhenti kalau ada penegakkan hukum yang jelas. “Lalu sanksi sosial bagi parpol yang tidak amanah kadernya tidak mendukung hak angket anti korupsi misalnya. Kemudian media seperti pisau dimana bisa di gunakan dokter menolong orang atau penjahat untuk membunuh orang,” ujar advokat muda ini.
Sementara itu, Pdt Ruth Wangkay menyoroti peran media dan ancaman intoleransi. Ia menyebutkan peran media sangat menentukan bukan hanya sebagai informasi tetapi bisa mengangkat masalah di masyarakat marginal dan bisa merubah negara dan bisa menjatuhkan sebuah rezim kekuasaan. “Peran media sangat penting karena media bisa dipergunakan untuk kebaikan juga keburukan. Peran media ada peran ganda banyak media sudah dikuasai oleh pemodal yang intoleransi. Tapi sejak saya kenal jurnalis anggota AJI selalu memberikan pencerahan termasuk dalam pemberitaan kasus-kasus intoleransi,” katanya.
Fenomena ancaman intoleransi ada pada agama, rasis, etnis, LGBT, dan lain-lain. Dan kalau media memanfaatkan isu ini untuk mendapatkan keuntungan secara bisnis, akan sangat merugikan masyarakat terlebih warga yang terlibat masalah intoleransi. “Media membesar-besarkan persoalan yang harusnya media mencari solusi agar kasus intolernasi tidak diberi ruang untuk berkembang,” ujar Pdt Ruth. Pemantik terakhir, Ketua Lesbumi Sulut Taufiq Bilfaqih menyampaikan dirinya masih percaya media dan AJI yang berperan memberikan pencerahan untuk kasus-kasus intoleransi. “Kami di Islam misalnya terlalu menerima tindakan-tindakan dari menerima sesama Islam, seperti FPI. Sebab ada kegagalan menghayati agama itu sendiri yang sebenarnya sudah tercantum dalam Al-Quran itu sendiri,” ujarnya.
Jika ingin masalah intoleransi tidak terus melebar sebaiknya menjauhi sikap prasangka. Ikut juga berbicara soal peran media dan ancaman intoleransi diantaranya Coco Jericho (Komunitas LGBT), Jull Takaliuang (aktivis perempuan), Nedine Sulu dan Rivo Gosal (AMAN Sulut), dan Pdt Ejodia Kakunsi yang sama-sama sepakat harus lebih cerdas melihat media. “Kita harus membedakan mana media yang memberi edukasi atau tidak, termasuk masalah intoleransi,” cetus mereka. (dwo/TI)